Sejarah Bukit kemuning front utara gerilyawan kemerdekaan

H. Muhammad Sai Sohar

Riwayat Singkat
Masa Kanak-kanak
H. Muhammad Sai Sohar lahir pada tanggal 7 Oktober 1942 di Desa Lubuk Nambulan, Kecamatan Kikim, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Muhammad Sai Sohar adalah anak dari pasangan petani bernama H. Sohar dan Robiah. Saudara-saudara kandungnya bernama A. Damiri, Nuraini, dan Nurlin.
D. Damiri bekerja sebagai guru Sekolah Dasar di Tebing Tinggi, Lahat, sebelum meninggal dunia pada tanggal 4 Agustus 1961 karena ditembak oleh gerombolan PRRI. Nuraini juga menjadi guru Sekolah Dasar dan menikah dengan Mayor R. Sugito, sedangkan Nurlin menikah dengan Suwarso BA dan menetap di Prabumulih.
Sewaktu kanak-kanak Sai Sohar bersama 12 orang kawan-kawan sedesanya bersekolah di Desa Tanjungagung. Desa ini letaknya jarak sekitar 3 kilometer dari Desa Lubuk Nambulan dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dari ke-13 anak ini hanya tiga orang saja yang berhasil menamatkan Vervolk School di Desa Tanjungagung pada tahun 1940. Sai Sohar yang termasuk dalam tiga orang tersebut selanjutnya mengikuti pendidikan Leergang/CVO/Kioinyo Seijo dan tamat pada tahun 1943.
Sebagai Guru Volk School di Dusun Kerung
Setelah menamatkan pendidikan Leergang atau keguruan, Sai Sohar memulai karirnya sebagai guru Volk School (Sekolah Rakyat) di Dusun Kerung, Lubuk Sepang, Lahat. Tetapi, karena waktu itu seorang guru wajib menguasai bahasa Jepang sebagai pengantar di Volk School, sebelum diperbolehkan mengajar, setiap hari Rabu terlebih dahulu harus mengikuti kursus bahasa Jepang setiap di Lahat yang harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh sekitar 10 kilometer dari Dusun Kerung.
Sebagai seorang guru, dari tahun 1943 Sai Sohar hanya mendapat gaji sebesar 14 Gulden, hingga bulan Mei 1944 menjadi 22 Gulden. Gaji ini sebenarnya tidak cukup untuk membiayai hidupnya serta menyekolahkan adik-adiknya. Oleh karena itu, seusai mengajar Sai Sohar bekerja sambilan dengan bertani agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya walau harus berhemat.
Menjadi Prajurit Pejuang
Pada akhir Mei 1944 Sai Sohar masuk Giyugun bentukan Jepang di Bengkulu dengan pangkat Prajurit Dua. Selanjutnya dia pindah lagi ke daerah Pagaralam untuk mengikuti pelatihan bidang kesehatan lalu ke Lahat dan Kebon Karet Tebat Gunung. Dalam mengikuti berbagai macam pendidikan tersebut Sai Sohar dilatih dengan gaya militer Jepang yang sangat keras dan berdisiplin tinggi. Mereka (tentara Jepang) tidak segan-segan menghukum seseorang bila melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan. Bentuk hukumannya seperti dijemur di terik matahari atau diharuskan saling tampar antarpeserta didik dengan tamparan yang tidak boleh main-main.
Setelah bangsa Indonesia Merdeka, pada tanggal 22 Agustus 1945 Giyugun dibubarkan. Sai Sohar yang waktu itu telah berpangkat Sersan I segera masuk dalam Gerakan Pengamanan Umum (PO) di bawah pimpinan Simbolon dan Harun Sohar di Lahat. Gerakan Pengamanan Umum kemudian dilebur menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sewaktu menjadi anggota BKR, tanggal 20 Oktober 1945 Sai Sohar diangkat sebagai Pimpinan BKR di Tebing Tinggi dan 5 bulan kemudian (Maret 1946) diangkat lagi menjadi Dan KI IV Yon XX dengan Komandan Resimen pertamanya Letkol Amin Kaum lalu diganti oleh Letkol Harun Sohar. Bulan itu pula Sai Sohar dipindahkan lagi jabatannya dari Dan KI IV Yon XX menjadi Kepala Kesehatan Resimen di Lahat.
Di tengah situasi yang sangat labil antara tahun 1945-1946, Sai Sohar tetap menunaikan fitrahnya sebagai seorang manusia dengan menikahi seorang gadis bernama Murayah di Dusun Gelumbang, Kecamatan Kikim, Lahat pada tanggal 10 Mei 1946. Lima bulan kemudian, tepatnya tanggal 18 Oktober 1946, Sai Sohar diangkat kembali menjadi Dan KI Yon Resimen XII yang kemudian dilebur menjadi Dan KI Yon VI Resimen 41 Martapura.
Ketika menjadi Dan Ki Yon VI ini tugasnya semakin berat karena waktu itu ikut membantu tentara Inggris (pasukan Sekutu) melucuti senjata sekitar 25.000 serdadu Jepang yang menyerah tanpa syarat sebagai akibat kekalahannya dalam Perang Dunia II. Oleh Jepang, wilayah Indonesia diserahkan kepada pihak Sekutu yang ditangani oleh Laksamana Mountbattern (Inggris) di bagian barat dan Jenderal Douglas Mac Arthus (Australia) untuk Indonesia bagian timur.
Tetapi, setelah satu brigade tentara Sekutu pada 12 Oktober 1945 di bawah pimpinan Letkol Carmichael serta 2 batalyon pada tanggal 13 Maret 1946 pimpinan Brigadir Jenderal Hutchinson mendarat di Palembang, ternyata tugasnya tidak hanya melucuti senjata tentara Jepang saja, melainkan juga membantu Belanda menguasai Indonesia. untuk itu, mereka menggeledah rumah-rumah penduduk dengan alasan mencari senjata.
Suasana pun menjadi panas karena beberapa kali terjadi insiden yang membuat rakyat marah. Puncak kemarahan tersebut terjadi ketika ada perintah dari Panglima Sekutu kepada Panglima Jepang agar merebut daerah yang dikuasai Republik untuk selanjutnya diserahkan pada pihak Belanda. Bentrokan-bentrokan bersenjata akhirnya pecah dengan tentara Jepang di Lubunglinggau, Pagaralam, Bengkulu, Jambi, Kalianda, dan Talangpadang.
Sementara tentara Republik berperang dengan Jepang, Inggris tetap bertahan di Indonesia hingga Belanda mampu membawa tentaranya sejumlah 120.000 personil sampai akhir tahun 1946 karena telah terikat dalam sebuah konferensi di Singapura. Ketika jumlahnya hampir mencapai angka 120.000, pada tanggal 24 Oktober 1946 Sekutu secara resmi mengangkat Kolonel Mollinger sebagai Komandan tentara Belanda di Palembang.
Tentara Belanda pimpinan Kolonel Mollinger langsung berusaha menguasai Kota Palembang sehingga terjadilah pertempuran lima hari lima malam antara tanggal 1 sampai 4 Januari 1947 melawan prajurit TRI dan lasykar-lasykar rakyat. Setelah pertempuran, pihak RI dan Belanda mengadakan perundingan yang hasilnya RI harus menarik tentaranya sejauh 20 kilometer dari Kota Palembang.
Peran Sai Sohar dalam Perang Kemerdekaan I dan II
Tidak puas dengan hanya menduduki Kota Palembang, pada 21 Juli 1947 Belanda mulai memperluas daerah kekuasaannya ke kota-kota lain di wilayah Sumatera Selatan. Oleh karena mereka menggunakan persenjataan modern, tentara Republik terpaksa harus mengalah dan menyingkir ke dalam hutan. Taktik perang pun terpaksa harus diganti menjadi perang gerilnya agar dapat mengalahkan Belanda yang belum hafal “medan”.
Pasukan Sai Sohar yang waktu itu juga ikut bergerilya, pada malam 28 Juli 1947 terpaksa harus bertempur melawan serdadu Belanda di Kemalaraja, RSU, sampai ke jembatan Sungai Ogan. Dalam pertempuran itu tidak dapat diketahui berapa jumlah korban dari pihak Belanda karena segera dibawa menggunakan kendaraan, sedangkan dari pasukan Sai Sohar terdapat tiga orang luka-luka dan seorang gugur bernama Kopral Zainuri.
Sebagai balasan, keesokan harinya sekitar pukul 09.00 Sai Sohar bersama 19 prajurit beserta 3 orang staf Batalyon VI/41 (Sersan Mayor A. Kohar, Matcik Malik, dan Cik Ani) mengacau pos Belanda di Saung Naga. Dalam serangan gerilya itu Sai Sohar dan kawan-kawannya berhasil merampas sebuah mobil, tetapi terpaksa ditinggalkan karena bala bantuan Belanda segera datang.
Sebagaimana layaknya sebuah peperangan, pasti akan terjadi saling serang atau saling serbu antarpihak yang bertikai. Setelah pasukan Sai Sohar mengacau di Saung Naga, giliran pasukan Belanda yang menyerbu dan menduduki Kota Martapura selama satu hari. Kompi Sai Sohar menyingkir sementara ke Prancak, sekitar enam kilometer arah hulu Kota Martapura.
Begitu juga ketika Kota Baturaja diduduki Belanda, pada tanggal 30 Juli 1947 Kompi Sai Sohar berusaha merebutnya kembali dengan membantu pasukan Mayor Soekardi di front timur dan Mayor Harun Hadimarto menduduki Kemalaraja, PLN, RSU, dan jembatan Sungai Ogan.
Hari berikutnya pasukan front timur ditarik hingga ke Kemelak karena pasukan Belanda membawa bala bantuan dari Palembang melalui Prabumulih. Gencatan senjata pun diumumkan, namun hanya sementara karena Belanda tidak mematuhinya sehingga pada tanggal 5 Agustus 1947 Komandan Garuda Hitam, Mayor Soekardi Hamdani memerintahkan agar pasukannya masuk ke Kota Baturaja. Pertempuran tidak dapat dihindari dan mengakibatkan empat orang prajurit gugur, yaitu: Lettu Syahriar, Kopral Zubri Matcik, Sersan Zakaria, dan Kopral Sai Husin.
Ketika Kota Martapura akhirnya juga jatuh ke tangan Belanda pada 10 November 1947, pasukan Sai Sohar hampir tidak melakukan perlawanan dan mundur teratur menuju Simpang Martapura lalu ke Lampung. Tujuannya, selain menghindari serangan udara Belanda, juga untuk menyusul Mayor M. Soekardi Hamdani yang mendapat jabatan baru sebagai Komandan Batalyon 24 front selatan di Telukbetung.
Di Lampung Sai Sohar diangkat sebagai Komandan Kompi II Telukbetung yang kemudian dilebur menjadi Kompi I Batalyon Brigade Mobil Garuda Hitam. Tidak berapa lama kemudian dikirim ke Giham sebagai Dan SIG (Komanden Seksi Istimewa Gerilya) front utara karena diperkirakan Belanda akan menyerang melalui utara. Selanjutnya, menjadi Komandan Sektor Barat yang berkedudukan di Bukit Kemuning-Kasui karena daerah Kotabumi telah jatuh ke tangan Belanda.
Perlawanan menghadapi Belanda pada masa Perang Kemerdekaan I dan II berakhir ketika Presiden Soekarno mengumumkan penghentian permusuhan yang berlaku mulai tanggal 11 Agustus di Pulau Jawa dan 15 Agustus 1949 di Pulau Sumatera. Di Lampung sendiri, penyerahan kembali Kotabumi oleh pihak Belanda dilaksanakan tanggal 24 November 1949 kepada Kapten M. Nurdin. Sai Sohar bertugas sebagai Komandan Keamanan dan pengambil alih pos Terbanggi Besar dari Lettu Verkuil.
Peran Sai Sohar Setelah Perang Kemerdekaan
Selesai melaksanakan tugas sebagai prajurit pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi Belanda di Sumatera Selatan dan Lampung hingga pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda pada tanggal 27-12-1949, M. Sai Sohar selaku prajurit Saptamarga masih harus menghadapi tantangan lain berupa perlawanan bersenjata di daerah-daerah yang merongrong stabilitas nasional, baik politik maupun militer.
Adapun tugas-tugas serta peran-peran Sai Sohar dalam masa sesudah perang Kemerdekaan I dan II diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Tahun 1950 bertugas sebagai Komandan Datasemen Kotabumi dengan pimpinan Kolonel Syamaun Gaharu.
  • Dipindah tugaskan ke Haji Pemanggilan sebagai Dan Peleton III LMG Ki I Yon 2001.
  • Dipindah tugaskan ke Kompi I dan Seksi I Tanjungkarang dan setelah itu pindah ke Staf Yon 206 selaku ADC pada tahun 1951.
  • Dipindah tugaskan ke Lahat sebagai Dan Ki V Yon 201 pada tahun 1952.
  • Menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan pimpinan Dr. Soumokil yang ingin memisahkan diri dari RIS pada tanggal 25 April 1950. Pemberontakan ini ditumpas oleh Kolonel Kawilarang dan berhasil merebut Kota Ambon pada tanggal 29-8-1950. Tokoh-tokoh pemberontak melarikan diri ke pulau Seram untuk bergerilya.
  • Selama satu tahun melakukan operasi pembersihan di Seram Barat Kairatu-Hontetu-Rum Batu Baruremberu-Top 559 dan Nanusa Manuwe.
  • Tahun 1953 kembali ke Lahat dan bertugas sebagai Kasi Personil Yon 201 lalu Dan Ki Yon C di Padang Lontar, Kecamatan Merapi, Kebupaten Lahat.
  • Tahun 1954 ikut melakukan operasi menumpas gerombolan DI/TII di Cimaragas, Pangandaran dan Cijulang selama 17 bulan.
  • Kembali ke Padang Lontar lalu mengikuti LPPDI (Lanjutan Perwira Dasar Intanteri) sampai tahun 1956 di Curup.
  • Tahun 1956 dipindah tugaskan sebagai Dan Ki Yon E di Mentok dengan pangkat Kapten lalu menjalani pendidikan KUPALTU di Bandung dan kembali lagi ke Mentok.
  • Dipindah tugaskan ke Palembang sebagai Pa Staf Resimen V pada tahun 1957, kemudian menjadi Wa Dan Yon A di Jambi dengan tugas mengamankan persenjataan yang dikirim PRRI Sumatera Barat menggunakan 24 truk ke Muaratebo.
  • Tahun 1959 menjadi Ketua BKS BUMIL (Badan Kerjasama Buruh Militer) di Palembang, mengikuti Maintenance Cource Peralatan di Cimahi, serta diangkat sebagai Dan Yon C Muara Enim dengan lokasi tugas di Sektor III Curup selama 22 bulan.
  • Mengikuti KUPALDA di Bandung hingga tahun 1962 dan setelahnya Sai Sohar langsung menduduki berbagai macam jabatan penting di kemiliteran, seperti: (1) Dan Dim 0403 OKU Baturaja; (2) Dan Dim 0411 Kotabumi; (3) Dan Dim 0406 MURA Lubuklinggau (1963-1964); (4) Skodam IV/Sriwijaya di Palembang tahun 1965; (5) Asisten 4/Leg tahun 1965 s/d 1969; Asisten 5/Teritorial tahun 1969 s/d 1972; (6) Koordinator Skarda D/Asisten Sospol Laksusda 1972 s/d 1974; (7) Sekjen Corps Sriwijaya; (8) Ketua I Angkatan ’45 Sumatera Selatan; (9) Anggota pleno Legiun Veteran RI Sumatera Selatan; dan (10) Wakil Ketua PPD I pada Pemilu 1971 Sumatera Selatan.
  • Memasuki dunia politik dengan menjadi Anggota MPR RI periode 1973-1977 dan Bupati Muara Enim selama dua periode 1977-1980 dan 1980-1985.
Bintang dan Tanda Jasa
Selama berkecimpung dalam dunia kemiliteran hingga menjadi Bupati Muara Enim, Kolonel Infanteri H.M. Sai Sohar yang mempunyai dua orang isteri (Hj. Murayah dan Ny. Ning Ayu) serta sepuluh orang putera-puteri ini banyak mendapat bintang dan tanda jasa dari pemerintah Indonesia. Bintang dan tanda jasa tersebut, diantaranya adalah: (1) Bintang Gerilya; (2) Satya Lencana Aksi Militer I; (3) Satya Lencana Aksi Militer II; (4) Satya Lencana GOM ke-III; (5) Satya Lencana Sewindu; (6) Satya Lencana Dua Windu; (7) Satya Lencana Sapta Marga; (8) Satya Lencana Wira Dharma; (9) Satya Lencana 24 tahun; (10) Satya Lencana Penegak; dan (11) Bintang Eka Paksi Kelas III.
Sumber: Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Daerah Provinsi Lampung
 
 
 
 

"Pengalaman paling mengharukan dalam hidup ketika Andi Arief, anak bungsu saya, diculik Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI karena kritis terhadap rezim Orba. Saya, yang berjuang mempertaruhkan nyawa tahun 1949, sakit hati, kecewa sekali. Kenapa anakku diambil begitu saja. Kalau memang dia bersalah, kenapa tidak ngomong dulu dengan saya."


PERISTIWA 1998 itu membekas begitu dalam di hati K.H. Arief Mahya, pejuang dan ulama kelahiran Gedung Asin, Liwa, 6 Juni 1926 dari pasangan Mahya dan Fatimah. Masa kecil lelaki 81 tahun ini dilalui di pedalaman Liwa. Sejak 31 Desember 1929, keluarga besar Mahya pindah ke Kampung Talangparis, Kecamatan Abung Tinggi, 6 kilometer dari Bukit Kemuning. Di kampung inilah hidupnya dimulai.

Pada umur 7 tahun, Arief masuk sekolah rakyat negeri 3 tahun (volkschool) di Ulakrengas. Setiap sore dan malam ia belajar mengaji Alquran dan ilmu agama pada saudara sepupunya, Sulaiman bin H.M. Saleh bin H.M. Nuh. Kebetulan saudara sepupunya ini pernah belajar di Pesantren Kedah, Malaysia. Usai volkschool, Arief meneruskan ke Madrasah Diniyah di Tanjungmenang dan diterima di kelas III. Ia pun berkenalan dengan ilmu tauhid, fikih, tasawuf, akhlak, hadis, tajwid, tarikh Islam, dan bahasa Arab dari gurunya yang masyhur, K.H.M. Rais Latief, lulusan Al-Azhar, Kairo Mesir.

Sejak mengenal dunia pendidikan, Arief kian bersemangat belajar. Lulus madrasah, ia ke Standardschool, Wustho Zu'ama, dan Wustho Mu'allimin. Wustho Zu'ama biasa disebut sekolah pemimpin menengah, sedangkan Wustho Mu'allimin adalah Sekolah Guru Menengah atau Onderbouw Kweekschool.
Setamat Wustho Mu'allimin, Arief stop sekolah karena pada 1940--1949 meletus Perang Dunia II. Kondisi ini memaksanya terjun ke kancah perang. Sejak 17 Agustus 1945--1949, ia proaktif pada revolusi, mempertahankan kemerdekaan.

Sekitar 1942, Arief ikut rombongan Darwys Manan berjalan kaki menempuh 100 km dari Bukit Kemuning ke daerah Neki dan Menangan Siamang (sekarang Way Kanan). Perjalanan tiga hari tiga malam ini untuk tablig pada masyarakat di kampung-kampung. Arief juga berdakwah ke beberapa kampung di Way Tenong, Belalau, dan Liwa bersama A. Halim dan Idris Mu'in. Pada 1942--1943, ia mengajar di Madrasah Ibtidaiah Talangparis dan Madrasah Muhammadiyah di Pekon Karangagung, Way Tenong.

Kondisi kembali berubah. Jepang menerapkan sistem kerja paksa BPP (Badan Pembantu Perang) pada masyarakat Indonesia. Untuk menghindarinya, Arief hidup berpindah-pindah bersama para pedagang (cingkau). Mereka jual beli barang dari satu daerah ke daerah lain, selama bertahun-tahun; sampai akhirnya keluarga Mahya pindah ke Hadimulyo, Metro, 1943.

Pada awal kepindahan keluarga besarnya, Arief belum ke Metro. Ia meneruskan aktivitasnya di Liwa. Sampai akhir 1944, ia memutuskan menyusul keluarganya ke Metro. Tokoh setempat meyambut kedatangannya. Waktu itu memang jarang ada yang berpendidikan tinggi seperti Arief. Ia diminta menjadi Kepala Perguruan Islam menggantikan Ustaz M. Jailani yang mengundurkan diri. Sejak Februari 1945--Desember 1948 ia bekerja di perguruan Islam tersebut.

Kiprahnya dalam pendidikan Islam makin terbuka manakala pada 1 September 1945 diterima menjadi guru agama (PNS) di Sekolah Rakyat Negeri (SRN) 1 dan 2 Metro. Satu tahun kemudian, Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) mengangkat Arief menjadi pemeriksa pelajaran agama pada sekolah-sekolah pemerintah di Metro.

Pada tahun sama ia diberi menjadi sekretaris Masyumi dan Ketua Lasykar Hizbullah/Sabilillah Cabang Metro. Arief mengikuti beberapa pelatihan/penataran yang dilaksanakan pemerintah. Ilmu yang didapat dari sekolah dan pelatihan inilah yang kemudian menjadi bekalnya berjuang melalui jalur pendidikan dan politik. Militansinya dalam memperjuangkan nilai pendidikan Islam makin terbentuk.

Tahun 1946 ia menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Metro. Sejak itu ia aktif dalam pergerakan Islam. Ia pun mengikuti latihan kemiliteran.

Tanggal 1 Januari 1949, Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang. Para pejuang dan pemuda Lampung mulai mengantisipasinya dengan mempersiapkan perang gerilya. Rapat kilat diadakan di kantor PU Metro demi menyatukan semangat antipenjajah. Untuk menindaklanjuti keputusan rapat, Arif dan para pemuda turun ke desa-desa memberi penjelasan ihwal perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Semangat anti-Belanda dikobarkan di mana-mana.

Setelah melalui perjuangan panjang, 10--22 Desember 1949 Arief Mahya bersama Makmun Nawawi diutus menghadiri Kongres Masyumi dan Badan Kongres Muslim Indonesia (BKMI) di Yogyakarta. Pada 17 Desember 1949, mereka juga sempat menyaksikan Bung Karno dilantik sebagai presiden Republik Indonesia Sementara (RIS) di Sitihinggil Keraton Yogyakarta.

Zaman itu, perjalanan ke Yogya memerlukan stamina luar biasa. Berhari-hari mereka terguncang-guncang dalam perahu motor Telok 9 dengan surat kuasa jalan (machteging) selaku Delegasi RI untuk perdamaian dengan Belanda dari Residen Lampung RI (darurat) Mr. Gele Harun. Maklum, masa itu Belanda masih menduduki seluruh Jakarta dan beberapa kawasan penting lain.

Berkat Kongres itu pula, pada 26 Desember 1949, dua utusan Lampung ini sempat menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan RI, pidato kedua negara (RI dan Belanda), serta penurunan bendera Belanda yang digantikan Merah Putih. "Itu momen yang sangat bersejarah bagi negeri ini. Saya juga bisa bertemu dan berjabat tangan dengan Bung Karno," ujar Arief Mahya.

Pulang ke Lampung, Arief kembali meneruskan bidangnya di dunia pendidikan dan dakwah Islam. Pada 5 Januari 1950, ia menemui Kepala Djawatan Agama Lampung, K.H. A. Razak Arsyad. Arief mendapat tugas membantu menyusun dan mengisi formasi pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) dari kabupaten sampai tingkat kecamatan seluruh Lampung Tengah. Sejak itu, Arief bertugas sebagai kepala Sekretariat KUA Lampung Tengah di Metro. Semua pegawai negeri RI dan TNI sepanjang 1949 tidak mendapat gaji. Pekerjaan itu dianggap pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Selama aktif di GPII, Arief terpikat pada aktivis GPII Putri, Mas Amah. Pernikahan mereka dilaksanakan 26 Agustus 1950 di Metro. Dari pertengahan 1952--1956, Arief nonaktif sebagai PNS karena menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Lampung Tengah. Kiprahnya beralih dari dunia pendidikan menuju medan politik.

Setelah pemberontakan PKI dan Lampung menjadi provinsi, 1964, Arief dimutasikan; dari kepala Staf Penerangan Agama pada KUA Ogan Komering Ulu menjadi wakil kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi Lampung di Telukbetung, mulai 1 Oktober 1965. Dari 1965--1966, ia menjadi Tim Screening PNS Lampung. Tugasnya meneliti seluruh PNS apakah ada yang terlibat PKI atau tidak.

Sejak 1966 ia menjadi Sekretaris Yayasan Perguruan Tinggi Islam (Yaperti) Lampung, kini Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung. Kariernya bagus sejak diangkat sebagai kepala Jawatan Penerangan Agama Provinsi Lampung, 1969--1973. Jabatan itu dia isi seiring dengan keaktifannya di organisasi Islam untuk pendidikan dan dakwah. Ia juga termasuk pengurus dan penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung sejak organisasi ini berdiri 1975.

Terhitung 1 Juli 1979, M. Arief Mahya pensiun sebagai PNS. Setahun sebelumnya ia sudah haji. Meskipun pensiun, aktivitas pendidikan-dakwah-politik-nya tak mengendur. Arief pun mengisi hari-harinya dengan mengajar mengaji anak-anak sekitar rumah. Salah satu murid mengajinya adalah Jusni Sofjan, kini direktur Jakarta International Trade Container (JITC).

Ia juga rutin mengisi ceramah agama dan terus menulis berbagai artikel di media massa lokal. "Tiap kata yang saya ketik dalam biasanya sudah melalui pemikiran panjang," kata dia.

Seiring dengan bertambahnya usia, dedikasinya terhadap dunia dakwah di Lampung meningkat. Bersama organisasinya, PWNU Lampung, ia rutin aksi sosial. Arief juga pengisi tetap kuliah subuh di RRI Tanjungkarang, selama empat tahun dua bulan. "Sampai sekarang saya tetap aktif sebagai wakil ketua Pengurus Masjid Al Furqon. Kalau Jumat saya menerjemahkan beberapa hadis pendek untuk buletin masjid," ujarnya.

Arief pun di minta menjadi pengurus pada Forum Komunikasi Umat Beragama yang dibentuk gubernur Lampung. Tugasnya menyelesaikan konflik-konflik antaragama. Untuk mengisi hari tuanya, Arief Mahya masih ingin terus menulis bersama mesin ketiknya. "Saya tidak bisa komputer. Tapi semua terasa nikmat," kata pengidola Muhamad Natsir ini. n


BIODATA


Nama: K.H. Muhammad Arief Mahya
Lahir: Gedung Asin, Liwa, 6 Juni 1926
Agama: Islam
Nama orang tua: Mahya dan Fatimah
Saudara kandung:
1. H. Mursyid Mahya
2. Zainab
3. Drs. H. Muslim Mahya
4. Hj. Rotinam
5. Rofi'ah
Anak ke: Tiga)
Nama istri: Hj. Mas Amah
Nama anak:
1. Hilyati
2. Istamar Arief, S.H., M.B.A.,
3. Erna Pilih, S.H.
4. Prisrita Rita, S.Pd.,
5. Dr. Edy Irawan Arief
6. Neli Aida, M.Si.,
7. Septi Aprilia, S.Pd.,
8. Andi Arief, S.I.P.

Pendidikan:
1. Volkshool
2. Madrasah/pesantren
3. Standardschool
4. Wustho Zu'ama
5. Wustho Mu'allimin

Karier:
1. Guru Agama SR Negeri
2. Kepala Tata Usaha KUA Kabupaten Lampung Tengah
3. Kepala Staf Penerangan Agama pada KUA Lampung Tengah Wakil Kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi
4. Kepala Jawatan Penerangan Agama Provinsi

Alamat rumah: Jalan Flamboyan III No.1, Enggal (0721) 251677
Hobi: Menulis
Moto hidup: Jangan hidup seperti benalu
Tokoh idola: Muhamad Natsir


Sumber:  
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 63-67.
 
 
 

HAJI Muhammad Noerdin Pandji adalah seorang pejuang kemerdekaan pada era revolusi fisik di Lampung tahun 1945--1949. Karier militer dirintis sejak 1943 pada masa pendudukan Jepang. Dia masuk sekolah militer Jepang yang disebut Gyugun.


Usai menyelesaikan pendidikan dinas ketentaraan sukarela Jepang, Noerdin dipercaya mengendalikan beberapa peperangan melawan penjajah hingga memukul mundur penjajah di ujung selatan provinsi Pulau Sumatera ini.

Saat peperangan kemerdekaan di Lampung, Noerdin menyandang pangkat kapten. Dia dipercaya menjadi wakil komandan Resimen Garuda Hitam merangkap komandan Batalion Mobil. Saat itu, Komandan Resimennya adalah Kolonel Gaharu Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Makmun Murod sebagai komandan kompi.

Lampung dikuasai Belanda pada 1 Juni 1947. Penjajah masuk Lampung, mulai Tarahan, Panjang, Telukbetung sampai Tanjungkarang. Tanjungkarang dibumihangsukan Belanda. Pasukan Garuda Hitam dan pemerintahannya sebagai kekuatan senjata di wilayah ini, dipindahkan ke Talang Padang, Tanggamus (50 Tahun Kodam II/Sriwijaya dalam Pengabdian).

Dari Talangpadang itulah, kekuatan pasukan pejuang Lampung dibagi dua front. Front Utara (berkedudukan di Kotabumi) dipimpin Noerdin Pandji sedangkan Front Selatan dipimpin Ismail Husin. Pembentukan front ini ternyata sangat ampuh menahan serangan Belanda yang ingin memperluas daerah kekuasaannya.

Dari perjalanan sejarah, ada pengalaman Noerdin Pandji yang sangat menarik pada saat tentara Belanda menyerang Lampung. Tanjungkarang saat itu sudah hangus. Resimen Garuda Hitam mundur ke Kotabumi. Noerdin dan pejuang lain telah meninggalkan kota, tapi anjing pelacaknya tertinggal.

Hewan kesayangan Noerdin kemudian ditangkap pasukan Belanda untuk diarak keliling kota dan diumumkan bahwa Noerdin Pandji sudah gugur. Perjuangaan Noerdin tidak hanya di Tanjungkarang dan Kotabumi, dia juga malang melintang melawan Belanda di Menggala, Tulangbawang.

Berdasar pada Surat Keputusan Menteri Urusan Veteran Republik Indonesia (RI) Nomor 276/MUV/1962, Noerdin Panji diakui sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan RI golongan A. Bahkan, dia juga salah satu tokoh yang ikut mendorong berdirinya Provinsi Lampung tahun 1963. Saat itu, Noerdin menjabat anggota DPRD-GR Sumatera Selatan.

Terbentuk Provinsi

Kamis, 28 Februari 1963, di Jalan Imam Bonjol tepatnya di rumah Raja Syah Alam, pimpinan partai dan tokoh-tokoh masyarakat mengadakan rapat yang hasilnya terbentuklah panitia yang diberi nama Panitia Perjuangan Daswati I Lampung beranggotakan para pimpinan mewakili tokoh masyarakat, organisasi, dan partai.

Mereka adalah Raja Syah Alam (PNI) sebagai ketua I, Ketua II M. Husni Gani (NU), Ketua III M.A. Pane (PKI--partai terlarang kala itu masih berdiri dan diakui pemerintah), dan Sekretaris Nasyir Rachman (IPKI). Ada juga Basyir Amin (Partai Murba), M. Syabda Pandjinegara (Partindo), Achmad Ibrahim, Ketua Perwakilan Ketua Jakarta (merangkap Palembang) sekaligus menjadi mandataris, dan H. Kamaruddin sebagai penasihat.

Tokoh masyarakat yang tergabung dalam panitia pembentukan Provinsi Lampung itu pergi ke Palembang menemui pejabat Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. Untuk usaha tersebut, pejuang ini meminta bantuan Noerdin Pandji, tentara mayor TNI AD ini pernah menjabat komandan Batalion Mobil Garuda Hitam di Tanjungkarang semasa perjuangan Angkatan '45 Clash II.

Noerdin mempertemukan delegasi panitia itu dengan Panglima Kodam IV Sriwijaya Kolonel Makmun Murod, Gubernur Sumatera Selatan Achmad Bastari, dan Ketua PDFN dr. A.K. Gani. Pertemuan itu berlangsung pada 19 Maret 1963 di kediaman resmi Panglima Sriwijaya di Palembang.

Adapun sebagai juru bicara delegasi adalah Nawawi Tuan Radja (PNI), sambil menyerahkan surat mandat delegasi kepada panglima.

Sampai akhirnya, Presiden Soekarno merestui terbentuknya daerah swatantra tingkat (daswati) I atau provinsi. Pengesahan sebagai provinsi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 3 Tahun 1964. Perjuangan mendirikan provinsi ini selama satu tahun sembilan hari.

Panutan Keluarga

Jiwa dan semangat serta pengabdian terhadap kehidupan masyarakat bangsa dan negara tecermin pula dari upaya Noerdin Pandji menjadi orang nomor satu di Sumatera Selatan. Dia mengikuti pencalonan sebagai gubernur Sumatera Selatan berturut-turut pada pemilihan tahun 1963, 1967, dan 1978.

Dalam lingkup keluarga, Noerdin Pandji adalah seorang pembina, panutan, dan contoh teladan terutama bagi putra-putrinya. Kedisiplinan ditanamkan sejak dini. Satu contoh kecil yang pernah dituturkan anaknya Alex Noerdin (Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan) dan tetap dipatuhi anak-anak, bahkan cucunya adalah tidak merokok. Kebiasaan ini pula yang dibawa anak-anaknya.

Noerdin juga bercita-cita membukukan cerita tentang Puyang Kuris (leluhur keluarga), tapi hingga akhir hayatnya keinginan itu belum sempat dilaksanakan. Dia mengharapkan melalui buku itu terungkap situs cerita Puyang Kuris dan menjadi salah satu media komunikasi juga alat untuk memperekat dan pemersatu seluruh anak-cucu keturunannya.

Kedekatan dengan penguasa negara terlihat ketika menjabat Komandan Komando Militer Palembang, Noerdin dikarunia seorang anak bernama Alex pada 9 September 1950. Pada saat kelahirannya, Ir. Soekarno, Presiden Indonesia, berkesempatan menjenguk Alex, seorang anak pejuang.

Sikap setia dan mencintai keluarga juga masyarakat tecermin dari wasiat Noerdin sebelum meninggal dunia pada 5 Juli 1958. Noerdin minta dikuburkan satu liang dengan istrinya tercinta, Fatimah, yang telah mendahuluinya pada 24 November 1981 di Taman Permakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta.

Noerdin meninggal dunia di Jakarta pada 5 Juli 1998 karena sudah uzur. Dia sering keluar masuk rumah sakit baik di dalam maupun luar negeri (Australia) disebabkan kanker prostat yang dideritanya sejak lama. Noerdin dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan meninggalkan tujuh putra/putri, 18 cucu, dan lima cicit.

Selain memperoleh tanda jasa Bintang Gerilya, Noerdin Pandji mendapat penghargaan dari negara untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namun karena kecintaan dengan isterinya tadi, (dalam wasiatnya) Noerdin memilih satu liang dengan belahan jiwa, Fatimah, di TPU Tanah Kusir, Jakarta.


BIODATA



Nama: H. Muhammad Noerdin Panji bin H. Pangeran Ibrahim.
Tempat, tanggal lahir: Gunung Meraksa, Lahat, 13 November 1924.
Meninggal: Jakarta, 5 Juli 1998
Istri: Hj. Fatimah
Pendidikan: SR, MULO (SMP), Sekolah Militer Jepang (Gyugun®MDNM¯)
Anak: Tujuh orang
Pangkat: Mayor Infanteri

Pengalaman:
1. Kepala Staf Divisi I di Lahat
2. Kepala Staf Resimen 41 Lampung
3. Kepala Staf Brigade Garuda Hitam Sub-Teritorium Lampung
4. Komandan Batalion 205 Teritoriem II Sriwijaya.
5. Mundur dari kemiliteran pada tahun 1961 atas permintaan sendiri dengan pangkat terakhir mayor infanteri
6. Anggota DPRD-GR Sumatera Selatan pada 1960
7. Ketua DPRD-GR Sumatera Selatan 1966
8. Anggota MPRS Utusan Daerah 1968
9. Ketua IV Dewan Harian Nasional Angkatan 45 tahun 1971--1976
10. Ketua IV Pimpinan Pusat Legiun Veteran RI tahun 1974--1979
11. Kabat IDPOL dan anggota Pimpinan Pusat Legiun Veteran
12. Kepala Bagian Bina Patusi Pimpinan Pusat Legiun Veteran RI

Tanda Jasa dan Penghargaan:
1. Bintang Gerilya (Era Revolusi Fisik)
2. Satyalancana Peristiwa Perang Kemerdekaan Satu
(saat Belanda melakukan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947)
3. Satyalancana Perang Kemerdekaan Dua (ketika
Agresi Militer II pada 19 Desember 1948)
4. Satyalancana Wiradharma
5. Satyalancana Penegak


Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 55-58.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Kelas VII INTRODUCTION (Perkenalan)

Soal Present continuous tense

Materi Kelas IX HOPE and WISH (Ungkapan Harapan dan Doa)